Hari
kamis 17 Rajab 1320 H, bertepatan dengan tanggal 20-7-1906 Masehi,
dari sejak pukul 4 subuh hingga pukul 12 siang, si jago merah (api)
berkobar membumi menghanguskan kampung Sapugara/Taliwang. Berang Rea
(Brang Djamid) pada waktu itu meluap dahsyat, banjir. Langit mendung
cuaca redup, angin bertiup menderu, sedang hujan turun gerimis yang
diiringgi oleh gemuruhnya halilintar dan kilatnya guntur
sambung-menyambung laksana membelah angkasa, bagaikan menggunting
langit. Bencana mala petaka menimpa wilayah Kecamatan Taliwang.
Orang-orang pada kaget heran dengan kejadian yang mendadak datang,
mereka terpaksa siap siaga, berlari-lari mencari tempat perlindungan,
rnenyelamatkan diri dari bahaya api dan air, dus, dari hantu maut.
Mereka tak rindukan harta, cuma nyawa yang dipikirkan. Sementara air
belum surut, dan hujan belum reda, si jago merah tak enggan padam,
tiang-tiang, dinding-dinding, dan atap rumah-rumah, Mesjid dan
lumbung-lurnbung padi habis landas dilandanya. Sapugara bermandi api.
Dari sana sini terdengar letusan-letusan, ledakan-ledakan peluru bedil,
geranat, meriam beruntun, berirama yang diselingi oleh jerit pekik
tangisan manusia-manusia, serta rintihan hewan-hewan. Sungguh seram,
Negeri, menegakkan bulu roma. Sapugara yang telah mewakili peperangan.
Sapugara jadi abu, arang setelah si api padam disaat sang surya
tergelincir. Kalau kita bertanya pada orang-orang pada waktu itu, siapa
yang mernpelopori perang Sapugara itu, siapa orangnya ? orang-orang
dengan spontan menjawab Undru. Undru dikenal sebagai seorang tokoh
terkemuka oleh rakyat Sapugara Taliwang, pada saat itu menjabat sebagai
Demung, (Camat) pada kecamatan Taliwang yang bertempat di Sapugara,
berdasarkan persetujuan Sultan Moh. Kaharuddin Sultan Sumbawa.
Keturunan dan anak siapa Undru itu?
Menurut hikayat rakyat, Undru lahir di Taliwang pada tahun, ? anak
tunggalnya Dea Mangku, keturunan raja Goa keturunan Makasar dengan
gelar Raja Sulabesi dan Ratunya Angin Mamiri . Kemudian kita bertanya
lagi, siapa itu Dea Mangku ?
Diatas dikatakan Dea Mangku keturunan Raja Goa " Makasar dan ia lahir
disana. Ketika ia masih dalam usia muda, Dea Mangku senang merantau
,berkelana mengarungi lautan, melintasi pulau-pulau mencari ilmu dan
pengalaman di negeri orang. Diantaranya sebelum ia masuk dan rnenetap
di Taliwang Sumbawa, pernah juga ia berkelana di Solo (Surakarta) Jawa
Tengah, menuntut ilmu bersama-sama disana dengan pangeran Mangku Bumi
ke III Raja Solo. Sudah barang tentu banyak ilmu yang
diperolehnya. Dan ilmu-ilmu itu selalu ia amalkan kepada orang-orang
yang memerlukannya. Memang ilmu adalah untuk amal. Disamping itu Dea
Mangku memiliki sifat-sifat pribadi yang tangkas, sigap serta
pemberani. sudah seyogyanya apabila anaknya juga memiliki karakter/piil
perangai seperti ayahnya. Nama Dea Mangku pernah gempar disekitar
Alas, Seteluk, Taliwang dan Jereweh, setelah mampu rnenempuh dan
menaklukan Mirata di bukit (olat) Mantar (seteluk) bersama seorang
penggawanya yang bernama Abbas. Begitulah tentang Dea Mangku, sekilas
riwayatnya yang telah mencetak seorang putra : UNDRU alias Dea Mas.
Dari sejarah Indonesia kita tahu bahwa bumi, air dan udara Nusantara
alam kita ini kaya oleh bahan-bahan sandang pangan. Pernah seorang
wartawan asing rnengatakan bahwa, sepotong surga di dunia ini adalah
Indonesia. Lautnya penuh oleh bejenis-jenis ikan, buminya subur dengan
tumbuh-tumbuhan yang berfaedah buat kepentingan hidup
manusia. Juga hewan-hewan ternak, juga para ahli pertambangan dan ahli
kimia menerangkan bahwa didalam tanahnya banyak mengandung bahan-bahan
mineral dan bahan-bahan pelikan. ujarnya kaya dengan burung-burung yang
bermacam-macam rupa, dari yang liar, juga yang jinak sampai kepada
yang elok. Diabad yang modern ini udara sangat dimanfaatkan, bukan
hanya untuk bernapas, juga untuk kepentingan pekabaran yakni
radio.Begitu pula panorama alamnya indah tiada tara dari pantai sampai
ke puncak gunung, dari kota besar yang ramai sarnpai ke desa-desa dan
dusun-dusunnya yang sunyi sepi itu, indah tak tersaingi. Coba kita
tengadah ke langit, nilakandi yang biru nirmala itu, kita lihat awan
putih bertumpuk-tumpuk, laksana sutera di tiup bayu beralih-alih
bentuk, kadang-kadang seperti merpati, tetapi sebentar kemudian
menjelma laksana bidadari. Kebudayaannya, adat-istiadatnya, bahasanya
dan budi perangai penghuninya senantiasa menunjukan keindahan belaka.
Justru karena alam kita ini kaya, subur serta indah, maka kota-kota dan
pantai-pantainya ramai oleh perdagangan, antara saudagar-saudagar
dalam dan luar negeri berlaku saling hubungan, saling tukar-menukar
barang-barang dan sebagainya. Sehingga tidak heran jika Indonesia
Nusantara ini tersiar nampaknya kemana-mana keseluruh jagad ini. Sahdan
pada pertengahan September 7602, 4 buah kapal layar yang berkapasitas
ratusan ton, berlabuh di Anyar/Banten Jawa Barat. Kapa-kapal itu
berbendera kebangsaan Belanda yang masing-masing kapal di pimpin oleh
seorang Kapitan. Diantara Kapitan itu ialah : Jan Pieter Zoon Coen,
Pieter Booth, Pieter Ebert dan Cornelis De Houtman. Mereka diterima
oleh Pangeran Hasanuddin Sultan Banten. Atas pertanyaan Sultan, Keempat
Kapitan tersebut rnenjawab bahwa mereka datang ke Nusantara ini
bermaksud mencari dan membeli rempah-rempah, pala, cengkeh, merica,
ketumbar, laos, jahe, kayu manis dan sebagainya. Sambil meluaskan
perhubungan perdagangan dan persahabatan. Namun pada
kenyataannya/prakteknya rnereka menjajah. Banyak raja-raja yang
ditaklukkan, ditundukkan. Sehingga makin lama kekuasaannya semakin
meluas, terpaksa mau tidak mau raja-raja dan rakyat pada waktu itu
harus menyerah kepada si mata biru.
Tiga warna mulai berkibar diangkasa Indonesia. Pemerintah belanda mulai
menerbitkan peraturan-peraturan, undang-undang baru yang mencekik
rakyat yang semata-mata bertentangan dengan tradisi dan hak-hak asasi
kemanusiaan kita. Diantara peraturan-peraturan rirnba yang ditimpakan
kepada rakyat ialah mengenai rodi ( kerja paksa) dan masalah pajak
(rente). Rakyat dimana-mana dipaksa keria tanpa aturan waktu, tetapi
harta milik rakyat dikenakan juga pajak yang tinggi. Padahal kekayaan
kita yang dibina oleh keringat tenaga rayat, malah digaruk ke Holand,
di gunakan untuk pembangunan negerinya.
Sungguh tak tertahan penderitaan rakyat pada saat itu. Meraka ditindas,
diperas, diperbudak, dan diperbodoh, meraka hendak bergerak, hendak
bersuara untuk mengeluarkan pendapat dan fikirannya, dilarang, ditengah
peraturan itu-ini juga sifatnya mengancam. Siapa menentang
ditindas,setidak-tidaknya dibuang, diasingkan keluar daerah.
Demikian rakyat dari Sabang sampai Merauke mengalami nasib serupa,
segala pahit getirnya penderitaan hidup, sama-sama ditelan, sama-sama
dirasai. Tapi ada juga sebagian kecil rakyat yang tak pernah menderita
yakni golongan feodal, Belanda hitam matanya, yang selalu
mendewa-dewakan arwah kolonial, mengumpat bangsa sendiri. Orang-orang
yang semacam ini hanya mau gendut sendiri, mewah sendiri, merdeka
sendiri. Dia tidak mau insaf bahwa segala kesenangannya itu dibangun
diatas imperium air mata dan darah rakyat yang tidak berdosa.
Dia beranggapan kalau hidup di dunia ini katanya hanya untuk mengejar
dan mencari kesenangan belaka walau harus ditempuh dengan muslihat
licik dengan istilah pandai hidup, alias bunglon- bunglonan.
Dia berlagak orang besar, pemimpin yang berkaliber, mau dihormati dan
sebagainya. Yang jelas dia itulah makelar gelap yang telah menjual
Bangsa dan Negaranya kepada si lmperialisme si rambut pirang.
Begitulah gambaran singkat situasi pada waktu itu di tanah air kita.
Bagaimana tidaklah rendah peradaban kita, dan bagaimana tidaklah rusak
keabadian kita selagi kita dalam cengkraman penjajahan yang
berabad-abad lamanya.
Mari kita kembali ke Undru.
Tadi telah dikatakan tentang watak, cara kerja yang sama dengan ayahnya Dea Mangku.
Rakyat telah mencurahkan kepercayaan kepadanya, jika Undru harus
mengemban jabatan sebagai Camat di Kecamatan Taliwang. Undru jadi Camat
Taliwang yang beribu kota di Sapugara. Menjadi camat pada waktu itu
bukan tugas yang menyenangkan, menghadapi kewajiban yang berat, yang
perlu dipecahkan dan dilaksanakan, Sebagai problem yang harus di
kerjakan dengan teliti serta ulet. Sebab yang dihadapi bukan setumpuk
kertas di atas meja, bukan berlembar-lembar surat didalarn laci, dan
bukan pula huruf yang bergaris di dalam buku-buku dengan cap
stempelnya, bukan. Yang dihadapi adalah rakyat, manusia-manusia yang
berfikir dan berkemauan. Yang dihadapi adalah Bangsa dan Negara, yang
pada waktu itu sedang sakit dalam genggaman Imperialisme Belanda.
Rakyat Sumbawa adalah merupakan sebagian/sekelompok dari keluarga besar
rakyat lndonesia. Otomatis kalau nasibnyapun sama pula dengan
rakyat-rakyat diseluruh pelosok tanah air kita ini. Rakyat Sumbawa pun
diperlakukan secara tidak senonoh oleh penjajah. Belanda mengeluarkan
peraturan-peraturan baru katanya, bahwa penduduk Sumbawa di haruskan
bekerja secara.sukarela, membuat jalan-jalan raya, membangun
jembatan-jembatan, gedung-gedung dan lainnya. Mereka disuruh banting
tulang tanpa upah. Siapa lalai dipukul seperti kerbau, disetrap,
disuruh kerja terus-menerus, selama tiga kali dua puluh empat jam tanpa
hentinya.
Begitu pula harta pusaka sang rakyat, tak lepas dari ancaman bea
kolonial, semuanya dikenakan pajak dan rente yang tinggi. Barang siapa
yang enggan bayar pajak, harta miliknya disita, diblokir, serta
sipemiliknya dijadikan budak, siapa yang rnenentang, tentu ia telah
rela menjadi tuan rumah di Bui. Rakyat pada masa itu mulai gelisah,
mereka merasa kalau kemerdekaan hidupnya terganggu. Pepatah berbicara
”Fajar menyingsing bukan karena jago berkokok, karena matahari terbit”.
Begitu pula Undru ketika sebagai Camat, ia tak tega menagih rente
kepada rakyat yang sedang demam dengan kesusahan-kesusahan hidup,
sekalipun ia disuruh oleh pemerintah kerajaan. Ia selalu berpikir,
”Kalau aku patuh kepada Belanda pasti rakyat memusuhi aku, padahal aku
lahir ditengah-tengah rakyat, aku anak kandung rakyat, rakyat bangsaku
yang sedarah seketurunan. Aku jadi camat karena rakyat telah
menganjurkan kepercayaan mutlak kepadaku, bahwa akulah yang rnenjadi
pengemban segala amanatnya. Belanda? ah, mereka pengemis yang hidupnya
persis bagai benalu tumbuh nempel di dahan kayu. Ia tumbuh hidup tumbuh
subur karena rnenghisap zat-zat kayu, sedang dahan itu sendiri regas
kering-kerontang. Belanda yang menjajah yang mengeruk semua kekayaan
alam negeri kita, tapi mengapa dia yang mesti menagih, memunggut pajak
kepada bumi putra ?Ini tidak seharusnya demikian ini tidak adil
namanya”.
Begitulah tanggapan-tanggapan, konsepsi dan analisa,. buah pikiran
Undru. Ingatannya selalu-cenderung dan terpusat kepada nasib hidup
rakyat, rakyat yang sedang digulung oleh derita dan air mata.segala
jerit pekik rakyat seolah-olah telah mengilhami seluruh kehidupan
Undru. Kini Undru harus banyak bicara dan harus banyak bekerja segala
kesibukan. Siang hari ia bekerja seperti biasa, malam hari ia
konsolidasi dan bermufakat dengan para punggawa-punggawanya. Tentang
bagaimana cara mempersatukan segenap potensi rakyat dan bagaimana kita
mengatur taktik, siasat peperangan nanti apabila terjadi. Perang
melawan kedholiman Stelsel Kapitalisme, Imperialisme Belanda dan
antek-anteknya.
Kini Undru muncul ditengah-tengah rakyat, bangkit mempelopori rakyat
mengajak kepada rakyat untuk berjuang demi keadilan dan kebenaran
sekalipun jiwa raga yang dipertaruhkan. Keadilan dan kebenaran bisa
tercipia apabila kelaliman telah dapat dihancurkan. Rakyat yang berhak
menuntunnya tidak bisa bersikap manis, apalagi main mata dengan
lmperialisme, selain daripada melawannya, walau dengan cara apapun
yang ditempuhnya. Jadi kesimpulannya, rakyat berjuang bukan karena
Undru, tapi Undru berjuang dan bergerak karena rakyat, sama kira-kira
dengan pepatah tadi.
Undru bersama punggawa-punggawa, para pemuka masyarakat dan rakyat
wilayah kecamatan Taliwang rnulai menyusun/mengatur barisan siaga guna
menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang
datang secara tiba-tiba dari pihak lawan.
Selanjutnya Undru telah mengambil Ne-curong dari Mataiyang, seorang pemelihara/penembak ulung meriam.
Nama meriam yang dikenal pada waktu itu ada dua buah, yaitu Dedara
Gempuk dan Taruna Banjar, yang sanggup memuntahkan peluru Bubit Mumpir
untuk menyapu bersih musuh-musuh. Demikian pula pada tiap malam jum'at
Undru berchulwats ditempat-tempat tertentu sarnbil membakar menyan.
Menghalwati simayor bedilnya yang bersubang emas itu dan bermesin
Pecunang namanya yang terbuat dari kuningan bercampur tembaga dan
perak. Dan pada saat itu Undru sudah kurang aktif bekerja di kantor.
Sikap Undru dan kawan-kawan telah diketahui lawan-lawannya, oleh
Belanda bahkan Belanda makin curiga setelah segala-gala rencana undru
tsb, tercium. Demi melihat gejala-gejala yang sedemikian itu Belanda
mengirim beberapa orang utusan yang membawa berita. Pilih satu diantara
dua, bayar pajak ataukah perang.
Setelah utusan tersebut diterima oleh Undru ia rnenjawab bahwa
bagaimanapun ia serta seluruh rakyat Kecamatan Taliwang yang tunduk
dibawah pengaruhnya tidak mau bayar pajak dan lain-lainnva dan mengenai
perang, Undru menandaskan bahwa untuk merebut kekuasaan dan
kemerdekaan kami akan menempuh dengan berbagai cara. Apabila tidak
berhasil dengan cara damai, dengan cara perangpun boleh.
Selanjutnya Undru menegaskan kepada utusan-utusan tersebut. Bahwa
memang tatkala pertama kali Belanda datang ke Indonesia segala janjinya
manis dan indah. Tapi prakteknya bertolak belakang. Katanya mencari
rempah-rempah sambil meluaskan jaringan-jaringan perdagangan yang
bersahabat dan sebagainya. Tetapi kenyataannya disulap dengan menjajah,
menindas, mengeruk kekayaan serta mengadu dornbakan Bumi Putera
sendiri yang tiada berdosa.
Demikian jawaban Undru buat Belanda yang disampaikan kepada
utusan-utusan tersebut. otomatis kalau jawaban-jawaban Undru itu
diterima oleh Belanda dengan hati gusar dan geram. Undru dan
kawan-kawannya telah merasa jika dalam waktu singkat nanti peperangan
akan berkobar. Maka rakyat diberi peringatan terutama orang-orang tua
yang sudah pikun, perempuan-perempuan dan anak-anak agar segera
evakuasi atau menyingkir di ternpat-tempat yang aman. Begitu pula anak
istri Undru telah diungsikannya dan diberi peringatan supaya dalam
menghadapi macam-macam musibah hendaknya tetap tenang dan waspada.
Sahdan, setelah segenap sesuatunya mustaid maka bersiagalah Undru
dengan pasukannya menanti kedatangan serdadu si mata biru itu
Sementara itu serdadu-serdadu Belanda dari Sumbawa Besar. Telah
dipindahkan ke Taliwang lengkap dengan segenap peralatannya dari
Taliwang mereka mulai mengatur barisan dalam selagorde pasukan berkuda
(kabaleri), pasukan-pasukan luar biasa (infantri) dan pasukan-pasukan,
penyelidik (Intelegiance Kamuvalse) kesemua pasukan-pasukan itu
dipimpin oleh Kapten Yan Clement. Pasukan-pasukan serdadu Belanda
tersebut. Bergerak berduyun-duyun menuju Sapugara melalui Brang Panemu
dan Bre, ini terjadi pada tanggal 11 Radjab 1320 H (19 Juli 1906)
sekira jam menunjukan pukul enam sore saat itu.
Dan serdadu-serdadu Belanda yang didrop kira-kira menurut taksiran tidak kurang dari 60 lusin yaitu720 orang.
Pasukan mata-mata Undru melaporkan bahwa Belanda telah masuk menduduki
Bre (nama desa), rencana mereka nanti malam pukul 2 malam akan
melakukan penyerangan ke sapugara. setelah menerima laporan demikian
Undru segera memerintahkan kepada Punggawa Ireng, Punggawa Beaus,
masing-masing Sangaria dan Talup, agar segera menyusun
tentaranya/pasukannya masing-masing, siap siaga menempati
tempat-ternpat yang strategis letaknya guna memberikan pukulan
perlawanan sengit kepada setiap musuh.
Malam itu malam kamis 17 Radjab 1320 H ( 20 Juli 1906) suasana sekitar
kampung Sapugara, sunyi senyap, tiada bintang yang menampakan dirinya
dicakrawala, karena tertutup oleh kabut dan awan hitam menggayut
diangkasa, yang hitam laksana cadar yang menutupi wajah manis gadis
gurun pasir, hanya jangkerik dan bangsa serangga berlomba mengantarkan
suara merdunya keruang alam ini, membuai bersenandung dimalam syahdu.
Meski malam itu sunyi sepi, namun jantung hati manusia pada berdenyut
dan berdebar diamuk oleh bermacam-macam hayal, apa jadinya gerangan
nanti apabila jadi bertempur, perang dan lain-lainnya.
Tooor. .. . Dooor... ..Tooor. ... .. suara pistol, sebagai sen (tanda)
tiga kali berturut-turut dari pihak Belanda, yang di tembakan ke atas,
pertanda bahwa perang akan dimulai.
Begitu juga Tentara Undru dan kawan-kawan dengan tembakan Dorloknya
lima kali berturut-turut memecah keheningan malam sebagai tanda
balasan.
Setelah kedua belah pihaknya bermain kode, mulailah mereka-mereka
bertempur. Saling bidik, saling tembak, saling pekik, perang campuh,
hebat seru dan menyeramkan. Gelegamya suara meriam dan senapan serta
gemerciknya pedang beradu, seolah-olah sebuah adegan drama yang
menegakkan bulu tengkuk. Itu terjadi pada tanggal 20 Juli 1906, yang
diawali sejak pukul 4 subuh dan berakhir pada jam 12:00 siang, dengan
lenyapnya kampung Sapugara. Dan disini tidak usah kita lukiskan panjang
lebar tentang bagaimana gagah dan sengitnya perlawanan Undru dan
kawan-kawan terhadap lawannya yang nyatanya hanya tinggal tiga lusin
(36 orang) hanya sisa-sisa serdadu Belanda yang masih hidup, sedang
Kapten Yan Clement, mati terbunuh dalam peperangan itu.
Tiada berkata lagi besarnya resiko Belanda yang mesti dikorbankan untuk
keperluan perang, baik kerugian jiwa maupun kerugian material. Ini
tidak heran berdasarkan kenyataan yang pernah di saksikan oleh rakyat
pada zaman itu yakni apabila Si bedil Mayor meletus, maka Pecunang
dalam sebutir sanggup menembus musuh-musuh dua setengah lusin (30
orang).
Menurut cerita bahwa peluru Pecunang itu memiliki keistimewaan yang tak
pernah dimiliki peluru dan senjata lain, dan mempunyai keajaiban yang
luar biasa. Apabila peluru tersebut di tembakan, kena atau tidak kepada
sasarannya, maka lazimnya peluru itu kembali lagi kepada pemiliknya.
Jadi sama dengan senjata yang dipergunakan oleh Hotentot suku pedalaman
asli Benua Australia, yang bernama Bumerang.
Rupanya sama dengan busur panah.Dan kalau sekarang pada abad modern ini
sama dengan peluru kendali yang digerakan oleh tenaga atom.
Kalau dari pihak lawan banyak yang jatuh korban, maka dari pihak Undru
dan kawan-kawan pun tidak sedikit yang gugur/tewas di medan laga
.memang didalam peperangan orang tidak memikirkan siapa benar dan siapa
salah, siapa menang dan siapa kalah. Karena perang adalah penderitaan
dan kehancuran belaka mendengar perkataan perang, terbayanglah dalam
kelopak rnata kita dan terdengarlah oleh kita, sorak, sorai gemuruhnya
senjata, jeritan dan tangis, tersemburnya darah, daging-daging yang
koyak berkeping-keping serta tulang belulang berserakan.
Ngeri dan sungguh mengerikan. Katanya jiwa itu mahal harganya dan
lain-lain. Tetapi mengapa begitu murah kalau ditembus sebutir peluru
atau disambar ujung tombak. Betapa tak redanya pecaturan perang antara
manusia di muka bumi ini dan betapa tak habis-habisnya ibu pertiwi kita
ini dilumuri darah dan air mata, mengapa penderitaan hidup ini selalu
menari-nari dimuka kita, datang dan pergi silih berganti. Perkataan
damai laris diobralkan oleh pimpinan-pimpinan Bangsa di Dunia ini,
laris seperti pisang goreng dijaja di pasar. Betapa bahagia kita bila
mendengar kata damai itu. Namun untuk menciptakan perdamaian itu
adakalanya harus ditebus dengan perang, oleh peperangan yang terkutuk.
Sejarah membuktikan apabila terjadinya perang biasanya diakhiri oleh
drama yang memilukan hati, bangunan hancur berpuing, hantu kelaparan
dan kemiskinan mencekam kehidupan, pengemis-pengemis dan anak-anak
yatim piatu yang kehilangan ayah ibu, sebagai mahkota hidupnya
bergelandangan dimana-mana, juga perempuan-perempuan yang merasa
dirinya agak cantik terus lari ke dunia pelacuran, rnenjajal kehormatan
tanpa tarif.
Semuanya itu karena perang, karena menderita lahir batin dan karena
lapar. Dalam situasi yang demikian itu, bermacam-macam penyakit yang
terjangkit, menjangkiti tubuh-tubuh manusia, TBC, cacar, kudis, busung
lapar, sakit kuning, raja singa/spilis, patel dan lain-lain. Panca
indera manusia sudah banyak kurang, cacat, infalit.
Belanda telah merasa jika dipihaknya banyak menderita, pengorbanan.
Kerugian-kerugian yang parah, akibat perang Sapugara itu. Maka
dicarilah muslihat lain untuk menundukan Undru dan kawan-kawan.
Mulailah Belanda menjalankan politik adu. domba dan dikuasai ( DEVIDE
ET IMPERA)nya terhadap Bumi Putera. Belanda banyak menyebarkan
mata-mata sewaan alias Belanda pisak (hitam/ bangsa sendiri). Mereka
disuruh propaganda dengan kalimat yang manis berbisa. "Saudara mau
hidup merdeka dan mewah ? Ikut kami Belanda dari Nederland, datang ke
Indonesia ini bukan bermaksud menjajah, tapi betul-betul hendak
mendidik dan memajukan taraf hidup saudara-saudara ketempat yang lebih
baik, agar saudara-saudara tidak bodoh dan buta huruf. Saudara-saudara
jangan keliru kemerdekaan letaknya adalah pada persahabatan
dan ke exsistensi secara damai, bukan pada pertempuran. Dan makin terus
saudara melakukan serangan kepada Belanda, berarti kemerdekaan saudara
akan musnah dan malah rantai belenggu yang rnenjerat saudara-saudara.
Jangan saudara-saudara turut Undru, sebab Undru orang bodoh,
peradabannya rnasih rendah. Ikuti Undru berarti penderitaan hidup
datang bertubi-tubi, tapi bersatu dengan Belanda berarti sorga,
kesejahteraan dan kedaulatan saudara-saudara akan terjamin penuh. "
Begitu manis dan lihainya propaganda Belanda yang diludahkan kepada
rakyat Kecamatan Taliwang khususnya. Mungkin buat orang yang lemah iman
dan kurang memiliki dasar mental yang sehat, gampang saja terpesona,
terpikat, bahkan bertekuk lutut dihadapan Imperialis, si mata biru
Belanda itu. Orang-orang semacam itu adalah jelas penjilat, pencari muka
dan pembunuh, algojo bangsa sendiri. Namun bagi orang-orang yang tebal
iman, luhur fiil perangainya dan berjiwa patriot-complit,
omongan-omongan si rambut pirang itu, adalah laksana pedang yang
ditancapkan kedalam dada sendiri.
Timbullah perasaan benci yang tiada putus-putusnya, dan dendam kesumat yang tak terleraikan lagi kepada Belanda.
Undru dan rekan-rekannya bersemboyan : "DARI PADA MUNDUR MENYERAH,
LEBIH BAIK MAJU BERLAWAN, MESKIPUN HARUS MATI BERTINDIH BANGKAI"
Demikianlah tekad,vang tercetus dalam hati nurani mereka, tekad yang
tulus ikhlas. Undru dan kawan-kawannya pantang menyerah mentah-mentah
kepada lawan, mereka terus bergerilya. Berkali-kali pasukannya memukul
mundur musuh, tapi berkali-kali juga mereka terpukul, melainkan rakyat
banyak yang jatuh korban. Selama Undru dan kawan-kawannya bergerilya,
selama itu pula Belanda mempergunakan kesempatan-kesempatannya
berpropaganda, sehingga banyak rakyat yang menyerah tanpa syarat, tak
lagi bersedia perang.
Selama Belanda terus melakukan pengejaran-pengejaran yang di barengi
dengan propaganda-propaganda licik untuk mempengaruhi dan memancing
publik (masyarakat), tapi Undru dan kawan-kawan kian sengit memberikan
balasan perlawanan sambil bergerilya, merayap terus menaiki
tebing-tebing curam, menuruni lernbah-lembah dalam, bersembunyi
disela-sela batu terjal antara Gunung Keminvak Bakatmonte, terus
merayap mendaki bukit-bukit Rarak dan Rungis.
Moral sahabat Sahabat Undru makin tinggi serta semangat mereka untuk
bertempur kian mendidih kian bergelora, setelah mengetahui banyak pihak
musuh yang rontok.
Menurut cerita rakyat, tatkala berkobarnya perang di Rarak dan Rungis
ratusan lusin serdadu-serdadu belanda yang amblas dihujani batu-batuan
besar oleh tentara Undru dan kawan-kawannya, dari atas celah-celah
bukit.
Makin ggih Undru dan kawan-kawan melancarkan perlawanansambil
membobolkan benteng/loji-loji pertahanan musuh, makin tambah kejam
Belanda melakukan penindasan-penindasan dan siksaan-siksaan terhadap
rakyat, suatu perbuatan yang di luar batasan kemanusian. Tidak sedikit
gadis-gadis yang rusak kehormatannya karena diperkosa. Sungguh tak
tertahankan oleh rakyat tentang keganasan simata biru itu. Bukan
masalah yang aneh apabila pasukan-pasukan tentara Undru dan kawan-kawan
kian hari kian menipis, kian surut bahkan kian berkurang jumlahnya.
Mereka terbentur oleh makanan, obat-obatan serta persenjataan.
Bagaimana tidak demikian, karena banyak lumbung-lumbung padi dibakar.
Serta alat senjata yang dipergunakan oleh lawan jauh lebih besar dan
lebih modern pada waktu itu.
Tegasnya Undru dan kawan-kawan telah merasa, iika dan pengikutnya sudah
terjepit. Mereka mengadakan musyawarah dan mufakat dalam memecahkan
problern-problem yang di hadapinya yang kemudian melahirkan suatu
keputusan, bahwa Undru dan kawan-kawan sebagainya menyerah tanpa syarat
kepada Belanda. Ini dikandung maksud agar supaya rakyat tidak jatuh
korban lagi, mengingat dan menimbang pula bahwa pengaruh Undru dan
kawan-kawan dikalangan mata rakyat sudah kabur, yang dikarenakan oleh
propaganda- propaganda busuk Belanda. Selama perang keluarga Undru dan
kawan-kawan, anak-anak, istrinya hidup tercecer tidak menentu lagi, dan
sebagainya.
Rakyat mengisahkan pada bulan November 1906, Undru dan kawan-kawannya
turun dari bukit rimba Rarak menuju ke Taliwang dengan diusung oleh
rakyat, menyerahkan diri kepada Belanda. Ketika Undru menyerah badannya
kurus, pakaiannya kumal-kumal, lagi pula sering batuk-batuk saja
karena terlalu kuat rninum candu. Segala tekadnya yang tulus iklas yang
pernah di ikrarkannya tempo hari itu, disaat ia sedang dijajahnya,
kini telah digagalkan dan di koyakkan oleh suasana yang krisis. Ia
kembali ke Taliwang bukan seperti di masa lampau sebelum perang, tetapi
kini ia pulang menyerahkan jirva raganya pada penjajah setelah sekian
kali bertempur, demi keadilan, kebenaran dan kemerdekaan serta demi
martabat yang luhur. Selanjutnya Belanda rnenjatuhkan vonis
kepadanya bahwa Undru dan kawan-kawan akan diasingkan keluar daerah
dalam waktu singkat. Akhir November 1906. Dikala surya timbul di Timur
Raya. Dimana angin pagi yang sejuk membelai bunga-bunga dan dedaunan
serta embun-embun yang bertengger berkilauan di ujung-ujung rumput,
sebentar lagi akan lenyap dipanas syamsu. Wajah kota Taliwang pada
zaman itu bagai bermuram durja. Bukit-bukit belantara yang melingkari
sekitar kota serta gunung Samoan yang tegak abadi sepanjang jaman, pada
ketika itu diam membisu tak sudi bercanda dengan ombak, dengan angin
atau burung-burung yang hinggap diranting kayu. Mereka tinggal bermuram
duria, berawan gundah gulana semua. Orang berjubel berduyun-duyun
menuju alun-alun persanggarahan ingin melihat pendekarnya akan di buang
ke negeri orang, serta ingin mendengar kesan-kesan dan salam
perpisahannya. Dengan mengenakan pakaian adat Sumbawa Undru keluar dari
persanggarahaan langsung menuju naik ke podium, disambut oleh tepuk
tangan riuh rendah, gegap gempita massa : Setelah situasi tenang,
barulah dia mengucapkan pidato singkatnya dalam bahasa daerah, yang
terjemahannya dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut :
"Kawan-kawan, sahabat-sahabat seperjuangan yang saya hormati. Selama
kita berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita ini, tak pernah
sctya ragu-ragu bahwa tujuan sejati itu pasti menang. Untuk cita-cita
itu, saya dan teman-temanku telah mengorbankan segala hidup ini. Apa
yang kita inginkan bagi tanah air ialah hak untuk hidup mulia, untuk
martabat yang utuh, untuk kemerdekaan tanpa batasan. Tetapi
kolonialisme Belanda dengan sekutunya, tidak menghendakinya. Dan
politik mereka dengan sadar atau tidak, secara langsung atau tidak,
mendapat bantuan dari pejabat-pejabat tinggi itu yang kita serahi
kepercayaan untuk membantu kita. Mereka menyogok beberapa orang dari
teman-teman setanah air kita memutar balikan keadaan dan merongrong
kemerdekaan kita. Apalagi yang saya dapat katakan tentang mereka? Mati,
hidup bebas atau meringkuk dalam penjara, atas perintah kaum
Kolonialais.
Bagi pribadi saya sendiri tidaklah menjdi soal. Soalnya adalah
Taliwang, Sumbawa yang rakyatnya melarat yang kemerdekaannya telah
diroboh menjadi kurungan dan dari luar kurungan itu rnereka menonton
kita dengan perasan yang begitu gembira. Tapi bagi saya sendiri tetap
tak akan gentar, sebab saya yakin Tanah air yang begitu banyak
menderita pasti akan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya."
Demikianlah kira-kira bunyi pidato Undru pada zaman itu. Tatkala ia
mengucapkan pidatonya banyak hadirin yang menjatuhkan air mata. Kini
Undru telah didampingi oleh istrinva yang setia, yakni SITI dan CEMPAU,
serta anak-anaknya yang masih kecil, menunggang atau mengendarai dokar
menuju Labuan Balat, dengan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda
sambil diiringi oleh para hadirin.
Disela sekian banyak pengiring, KETUB BAE' (Saad) dari Sapugara dan
BENGO, H. ABDULLAH dari Bre dan AHO, SEH HASAN dari Ponjok, ikut serta
mengantarnya.
Kapal telah siap menanti di Pelabuhan Balat. Istri-istrinya bersumpah
bahwa mereka tetap setia, patuh dan taat kepada suaminya, walau di bawa
kemanapun juga, mereka tetap sehidup dan semati.
Kala itu matahari telah tinggi, tepat ada diatas ubun-ubun kepala.
Setelah selesai pamitan dan bersalam-salaman dengan semua hadirin, ia
serta anak istrinya yang setia masuk terus keruang kapal berdiri diatas
deks. Serunai berkali-kali di bunyikan, jangkar telah diangkut
diselingi oleh suara mesin yang gemuruh, kapal rnulai bergerak pelan,
bertolak meninggalkan pelabuhan Balat yang landai itu. Para pengantar
mulai melambai-lambaikan tangannya, dengan sapu tangan, selendang, dan
lain-lainnya,
mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah. Lambaian tangan mereka
laksana daun-daun nyiur ditiup angin, dan sebaliknya Undru bersama
keluarganya membalasnya. Suatu lambaian yang mengandung seribu arti.
Setelah kapal menghilang dibalik tirai lautan, para pengantar kembali
pulang ketempatnya masing-masing. Disaat itulah baru mereka rasakan
bagai mana sedihnya berpisah dengan pendekar seperjuangannya yang
pernah menggentarkan musuh dan yang tidak pernah absen dalam memberikan
andil bagi tanah Air dan Bangsanya.Sebaliknya Undru sekeluarga baru
merasa kesedihan setelah berpisah dengan kawan, sahabat, kaum kerabat
seperjuangannya. Matanya berkaca-kaca digenangi air kepedihan, pedih
iika mengenangkan masa-masa perjuangannya yang telah lalu.
Kapal laju- terus diiramakan ombak. Undru masih tertegun, matanya
keluar melalui jendela bundar melihat daratan pulau Sumbawa tempat
tumpah darahnya yang ia cintai Air laut yang gemerlapan disinari surya
mengingatkan ia pada istri-istrinya, yang tak mau turut serta seperti
Lala Ringgit dan Lala Kemal. Dikabulkannya seraya berkata :
”Dirgahayulah rekan-rekanku yang senasib sepenanggungan ketenangan dan
kebenaran ada ditanganmu, pasti. Kedholiman kolonial niscaya hambruk
pada suatu saat"
Demikian Undru sekeluarga, hidup terlunta-lunta dalam pembuangan yang
bertahun-tahun diayun-ayunkan oleh gelombang jaman, dipindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain, dengan dalih akan dimerdekakan,
padahal prakteknya dibelenggu dalam bui yang indah.Dan akhirnya
pendekar sapugara Taliwang itu menghabiskan hayatnya dikota udang
Cirebon Jawa Barat, dengan meninggalkan beberapa orang putra-putri yang
masih hidup, kembali pulang berkumpul sanak keluarganya di Sapugara
Taliwang. Mereka semuanya kini telah disenja usia. Diperkirakan
meninggalnya Undru itu pada tahun 1926 Masehi.