Rabu, 23 April 2014

Lambang, Motto dan Haril Lahir Kabupaten Sumbawa Barat

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Lambang Daerah, Motto Daerah dan Hari Lahir Kabupaten Sumbawa Barat
Lambang Daerah

 

I       Bentuk Lambang Daerah adalah berbentuk perisai
II      Isi Lambang Daerah adalah
a.    Bintang berwarna kuning emas
b.    Padi berwarna kuning dan kapas dengan kelopak berwarna hijau dengan bunga kapas berwarna putih
c.    Bintang persegi delapan berwarna hijau tua dengan garis putih pada gerigi
d.    Lingkaran berwarna hijau muda
e.    Gelombang air berwarna putih
f.     Warna biru dalam lingkaran hijau muda
g.    Pita berwarna merah
h.    Lebah dengan warna putih dan hitam
III    Tulisan yang Terdapat dalam lambang daerah adalah
a.    Pada bagian atas Lambang Daerah dengan warna dasar merah terdapat tulisan Sumbawa Barat
b.    Pada bagian bawah di dalam pita berwarna merah terdapat tulisan Pariri Lema Bariri
IV    Arti Simbol dan Warna Lambang Daerah
a.    Perisai pada bagian atas berwarna merah dengan tulisan Sumbawa Barat serta selebihnya berwarna putih melambangkan bahwa Kabupaten Sumbawa Barat sebagai Daerah Otonom berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau melambangkan semangat nasionalisme dan patriotisme
b.    Bintang berwarna kuning emas melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa
c.    Bulir padi berwarna kuning dan kapas dengan kelopak berwarna hijau dan bunga berwarna putih melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran;
Jumlah bulir padi 20 bulir dan kapas 11 kuncup, melambangkan tanggal dan bulan kelahiran Kabupaten Sumbawa Barat
d.    Bintang persegi delapan berwarna hijau tua dengan garis putih pada gerigi melambangkan delapan penjuru mata angin dan semangat kekeluargaan, gotong royong serta berpendirian kokoh
e.    Gelombang air berwarna putih melambangkan dinamika dan atau gerak maju masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat
f.     Lingkaran berwarna hijau muda melambangkan dinamika kehidupan dalam ketenangan
g.    Warna biru dalam lingkaran hijau muda melambangkan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia
h.    Pita berwarna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab
i.     Lebah, selain melambangkan khas Daerah Sumbawa Barat juga melambangkan disiplin serta semangat kerja keras
j.     Warna hitam pada lingkaran luar perisai mempunyai makna keabadian dan kemantapan untuk meraih harapan
Motto Daerah
I     Motto Daerah adalah Pariri Lema Bariri
II    Makna Motto Daerah terdiri dari
a.  Makna Umum adalah reformasi (perubahan) disegala bidang pembangunan
b.  Makna khusus adalah
1.  Pariri bermakna : menghimpun, memperbaiki, membangun, merawat  secara berkesinambungan
2.  Lema bermakna : agar, supaya atau segera
3.  Bariri bermakna : baik, berguna, berfungsi, bermanfaat sekaligus  sempurna
Hari Lahir
I    Hari Lahir Kabupaten Sumbawa Barat adalah pada tanggal 20 Nopember
II  Penentuan Hari Lahir didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan:
a.  Tanggal 20 Nopember 2003 merupakan saat/waktu persetujuan oleh Presiden dan DPR terhadap pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat
b.  Momentum sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas secara bersamaan dan serentak disambut oleh masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dengan antusias, penuh suka cita dan melakukan sujud syukur kepada Allah SWT
c.  Momentum sebagaimana dimaksud pada huruf a, bertepatan pula dengan 25 Ramadhan 1424 H, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa.

Sumber : sumbawabaratkab.go.id

Selasa, 22 April 2014

Sejarah Kesultanan Sumbawa

Masa Kesultanan Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham Animisme. Masuknya Islam ke Sumbawa telah mempercepat dan mengkatalis terbentuknya kesultanan Sumbawa yang dikenal dengan nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Sultan yang pertama memimpin Sumbawa adalah Dewa Mas Pamayam (Mas Cini) 1648-1666. Ada tiga “gelar induk” atau Puin Kajuluk yang digunakan sebagai nama gelar kesultanan Sumbawa : Sultan Harun Arrasyid, Sultan Jalaluddin, dan Sultan Kaharuddin.
Perjalanan masa kesultanan Sumbawa telah melahirkan pemimpin yang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan keberanian yang ikhlas, sehingga lambang Kesultanan Sumbawa digambarkan dengan macan putih atau sering disebut “Bendera Macan”. Bendera macan putih merupakan lambang keberanian yang ikhlas dan suci, semangat ini telah terwarisi kepada seluruh masyarakat Sumbawa, sehingga menjadi masyarakat yang modern, religius dan demokratis.
Penobatan Sultan Sumbawa ini merupakan penobatan pertama yang dilakukan sejak kesultanan Sumbawa menjadi bagian NKRI. Penobatan ini menjadi sangat penting dan bermakna bagi seluruh rakyat atau Tau Tana Samawa yang memegang teguh nilai-nilai budaya Sumbawa. Penobatan Sultan Sumbawa tidak dihajatkan sebagai Negara Berdaulat, tetapi akan menjadi pengawal / penjaga pusaka Sumbawa yaitu budaya, adat rapang tau dan tana samawa yang religius ( Adat Barenti Ko Syara, Syara’ Barenti Ko Kitabullah)  yang bermakna bahwa adat istiadat dan budaya Sumbawa senantiasa berpedoman kepada agama untuk kerik salamat tau ke tana samawa (keselamatan masyarakat dan alam Sumbawa). Wilayah kesultanan adat Sumbawa adalah kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat (Kamutar Telu).
Dinasti Dewa Dalam Bawa berkuasa sejak berakhirnya pemerintahan Dinasti Awan Kuning yaitu pada tahun 1623. Sultan-sultan yang pernah memimpin adalah sbb:
No.
Nama Sultan
Masa Pemerintahan
1.
Dewa Mas Pamayam (Mas Cini) (1648-1668)
1648-1668
2.
Dewa Mas Goa (Saudara dari Dewa Mas Pamayam) 168-1675.
1668-1675
3.
Dewa Mas Bantan (1675-1701)
1675-1701
4.
Dewa Mas Madina (Muharan Harun Arrasyid I ) 1701-1725)
1701-1725
5.
Dewa Mas Muhammad Jalaluddin I (Datu Taliwang) 1725-1731
1725-1731
6.
 Dewa Mas Mapasusung Moh Kaharuddin I (1731-1759)
1731-1759
7.
 I Sugi Karaeng Bantoa (Putri Dati Seran) 1759-1761)
1759-1761
8.
Hasanuddin (Alauddin) datu jereweh (1761-1763)
1761-1763
9.
Dewa mas Muhammad jalaluddin II (Pangeran Anom Mangkuningrat) 1763-1766
1763-1766
10.
Mappacongga Mustafa (Putra dari 8) 1776-1780
1766-1780
11.
Mahmud (Harun Arrasyid) Datu Jereweh putra dari 7 (1780-1791)
1780-1791
12.
Safiatuddin Dg. Masiki (Putri dari 10) 1791-1795
1791-1795
13.
Muhammad Kaharuddin II (Putra dari 9) 175-1865
1795-1865
14.
Sultan Amrullah (Adik L. Mesir) 1837-1883
1837-1883
15.
Mas Madina Raha Dewa Jalaluddin III (karena sepuh turun tahta 1883) 1883-1931
1883-1931
16.
Muhammad Kaharuddin III (Daeng Manurung Putra dari 15) 1931-1958
1931-1958
17
Haji DMA Kaharuddin, SE.MBA
2011-Sekarang
Tanggal 5 April 1941, Muhammad Abdurrahman Daeng Raja Dewa Putra Sultan Muhammad Kaharuddin III, dinobatkan sebagai Putra Mahkota. Bertepatan dengan tanggal kelahiran beliau Sultan Muhammad Kaharuddin IV, 5 April 2011 di nobatkan sebagai Dewa Maraja Sumbawa yang ke 17 oleh Lembaga Musyakara Adat Tana Samawa.

Sumber : sumbawakab.go.id

Kamis, 05 September 2013

Perang Sapugara (Sumbawa Barat)

Kisah Undru Alias Dea Mas dan Perjuangannya

Hari kamis 17 Rajab 1320 H, bertepatan dengan tanggal 20-7-1906 Masehi, dari sejak pukul 4 subuh hingga pukul 12 siang, si jago merah (api) berkobar membumi menghanguskan kampung Sapugara/Taliwang. Berang Rea (Brang Djamid) pada waktu itu meluap dahsyat, banjir. Langit mendung cuaca redup, angin bertiup menderu, sedang hujan turun gerimis yang diiringgi oleh gemuruhnya halilintar dan kilatnya guntur sambung-menyambung laksana membelah angkasa, bagaikan menggunting langit. Bencana mala petaka menimpa wilayah Kecamatan Taliwang. Orang-orang pada kaget heran dengan kejadian yang mendadak datang, mereka terpaksa siap siaga, berlari-lari mencari tempat perlindungan, rnenyelamatkan diri dari bahaya api dan air, dus, dari hantu maut. Mereka tak rindukan harta, cuma nyawa yang dipikirkan. Sementara air belum surut, dan hujan belum reda, si jago merah tak enggan padam, tiang-tiang, dinding-dinding, dan atap rumah-rumah, Mesjid dan lumbung-lurnbung padi habis landas dilandanya. Sapugara bermandi api. Dari sana sini terdengar letusan-letusan, ledakan-ledakan peluru bedil, geranat, meriam beruntun, berirama yang diselingi oleh jerit pekik tangisan manusia-manusia, serta rintihan hewan-hewan. Sungguh seram, Negeri, menegakkan bulu roma. Sapugara yang telah mewakili peperangan. Sapugara jadi abu, arang setelah si api padam disaat sang surya tergelincir. Kalau kita bertanya pada orang-orang pada waktu itu, siapa yang mernpelopori perang Sapugara itu, siapa orangnya ? orang-orang dengan spontan menjawab Undru. Undru dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka oleh rakyat Sapugara Taliwang, pada saat itu menjabat sebagai Demung, (Camat) pada kecamatan Taliwang yang bertempat di Sapugara, berdasarkan persetujuan Sultan Moh. Kaharuddin Sultan Sumbawa. Keturunan dan anak siapa Undru itu?
Menurut hikayat rakyat, Undru lahir di Taliwang pada tahun, ? anak tunggalnya Dea Mangku, keturunan raja Goa keturunan Makasar dengan gelar Raja Sulabesi dan Ratunya Angin Mamiri . Kemudian kita bertanya lagi, siapa itu Dea Mangku ?
Diatas dikatakan Dea Mangku keturunan Raja Goa " Makasar dan ia lahir disana. Ketika ia masih dalam usia muda, Dea Mangku senang merantau ,berkelana mengarungi lautan, melintasi pulau-pulau mencari ilmu dan pengalaman di negeri orang. Diantaranya sebelum ia masuk dan rnenetap di Taliwang Sumbawa, pernah juga ia berkelana di Solo (Surakarta) Jawa Tengah, menuntut ilmu bersama-sama disana dengan pangeran Mangku Bumi ke III Raja Solo. Sudah barang tentu banyak ilmu yang
diperolehnya. Dan ilmu-ilmu itu selalu ia amalkan kepada orang-orang yang memerlukannya. Memang ilmu adalah untuk amal. Disamping itu Dea Mangku memiliki sifat-sifat pribadi yang tangkas, sigap serta pemberani. sudah seyogyanya apabila anaknya juga memiliki karakter/piil perangai seperti ayahnya. Nama Dea Mangku pernah gempar disekitar Alas, Seteluk, Taliwang dan Jereweh, setelah mampu rnenempuh dan menaklukan Mirata di bukit (olat) Mantar (seteluk) bersama seorang penggawanya yang bernama Abbas. Begitulah tentang Dea Mangku, sekilas riwayatnya yang telah mencetak seorang putra : UNDRU alias Dea Mas.
Dari sejarah Indonesia kita tahu bahwa bumi, air dan udara Nusantara alam kita ini kaya oleh bahan-bahan sandang pangan. Pernah seorang wartawan asing rnengatakan bahwa, sepotong surga di dunia ini adalah Indonesia. Lautnya penuh oleh bejenis-jenis ikan, buminya subur dengan tumbuh-tumbuhan yang berfaedah buat kepentingan hidup
manusia. Juga hewan-hewan ternak, juga para ahli pertambangan dan ahli kimia menerangkan bahwa didalam tanahnya banyak mengandung bahan-bahan mineral dan bahan-bahan pelikan. ujarnya kaya dengan burung-burung yang bermacam-macam rupa, dari yang liar, juga yang jinak sampai kepada yang elok. Diabad yang modern ini udara sangat dimanfaatkan, bukan hanya untuk bernapas, juga untuk kepentingan pekabaran yakni radio.Begitu pula panorama alamnya indah tiada tara dari pantai sampai ke puncak gunung, dari kota besar yang ramai sarnpai ke desa-desa dan dusun-dusunnya yang sunyi sepi itu, indah tak tersaingi. Coba kita tengadah ke langit, nilakandi yang biru nirmala itu, kita lihat awan putih bertumpuk-tumpuk, laksana sutera di tiup bayu beralih-alih bentuk, kadang-kadang seperti merpati, tetapi sebentar kemudian menjelma laksana bidadari. Kebudayaannya, adat-istiadatnya, bahasanya dan budi perangai penghuninya senantiasa menunjukan keindahan belaka.
Justru karena alam kita ini kaya, subur serta indah, maka kota-kota dan pantai-pantainya ramai oleh perdagangan, antara saudagar-saudagar dalam dan luar negeri berlaku saling hubungan, saling tukar-menukar barang-barang dan sebagainya. Sehingga tidak heran jika Indonesia Nusantara ini tersiar nampaknya kemana-mana keseluruh jagad ini. Sahdan pada pertengahan September 7602, 4 buah kapal layar yang berkapasitas ratusan ton, berlabuh di Anyar/Banten Jawa Barat. Kapa-kapal itu berbendera kebangsaan Belanda yang masing-masing kapal di pimpin oleh seorang Kapitan. Diantara Kapitan itu ialah : Jan Pieter Zoon Coen, Pieter Booth, Pieter Ebert dan Cornelis De Houtman. Mereka diterima oleh Pangeran Hasanuddin Sultan Banten. Atas pertanyaan Sultan, Keempat Kapitan tersebut rnenjawab bahwa mereka datang ke Nusantara ini bermaksud mencari dan membeli rempah-rempah, pala, cengkeh, merica, ketumbar, laos, jahe, kayu manis dan sebagainya. Sambil meluaskan perhubungan perdagangan dan persahabatan. Namun pada kenyataannya/prakteknya rnereka menjajah. Banyak raja-raja yang ditaklukkan, ditundukkan. Sehingga makin lama kekuasaannya semakin meluas, terpaksa mau tidak mau raja-raja dan rakyat pada waktu itu harus menyerah kepada si mata biru.
Tiga warna mulai berkibar diangkasa Indonesia. Pemerintah belanda mulai menerbitkan peraturan-peraturan, undang-undang baru yang mencekik rakyat yang semata-mata bertentangan dengan tradisi dan hak-hak asasi kemanusiaan kita. Diantara peraturan-peraturan rirnba yang ditimpakan kepada rakyat ialah mengenai rodi ( kerja paksa) dan masalah pajak (rente). Rakyat dimana-mana dipaksa keria tanpa aturan waktu, tetapi harta milik rakyat dikenakan juga pajak yang tinggi. Padahal kekayaan kita yang dibina oleh keringat tenaga rayat, malah digaruk ke Holand, di gunakan untuk pembangunan negerinya.
Sungguh tak tertahan penderitaan rakyat pada saat itu. Meraka ditindas, diperas, diperbudak, dan diperbodoh, meraka hendak bergerak, hendak bersuara untuk mengeluarkan pendapat dan fikirannya, dilarang, ditengah peraturan itu-ini juga sifatnya mengancam. Siapa menentang ditindas,setidak-tidaknya dibuang, diasingkan keluar daerah.
Demikian rakyat dari Sabang sampai Merauke mengalami nasib serupa, segala pahit getirnya penderitaan hidup, sama-sama ditelan, sama-sama dirasai. Tapi ada juga sebagian kecil rakyat yang tak pernah menderita yakni golongan feodal, Belanda hitam matanya, yang selalu mendewa-dewakan arwah kolonial, mengumpat bangsa sendiri. Orang-orang yang semacam ini hanya mau gendut sendiri, mewah sendiri, merdeka sendiri. Dia tidak mau insaf bahwa segala kesenangannya itu dibangun diatas imperium air mata dan darah rakyat yang tidak berdosa.
Dia beranggapan kalau hidup di dunia ini katanya hanya untuk mengejar dan mencari kesenangan belaka walau harus ditempuh dengan muslihat licik dengan istilah pandai hidup, alias bunglon- bunglonan.
Dia berlagak orang besar, pemimpin yang berkaliber, mau dihormati dan sebagainya. Yang jelas dia itulah makelar gelap yang telah menjual Bangsa dan Negaranya kepada si lmperialisme si rambut pirang.
Begitulah gambaran singkat situasi pada waktu itu di tanah air kita.
Bagaimana tidaklah rendah peradaban kita, dan bagaimana tidaklah rusak keabadian kita selagi kita dalam cengkraman penjajahan yang berabad-abad lamanya.
Mari kita kembali ke Undru.
Tadi telah dikatakan tentang watak, cara kerja yang sama dengan ayahnya Dea Mangku.
Rakyat telah mencurahkan kepercayaan kepadanya, jika Undru harus mengemban jabatan sebagai Camat di Kecamatan Taliwang. Undru jadi Camat Taliwang yang beribu kota di Sapugara. Menjadi camat pada waktu itu bukan tugas yang menyenangkan, menghadapi kewajiban yang berat, yang perlu dipecahkan dan dilaksanakan, Sebagai problem yang harus di kerjakan dengan teliti serta ulet. Sebab yang dihadapi bukan setumpuk kertas di atas meja, bukan berlembar-lembar surat didalarn laci, dan bukan pula huruf yang bergaris di dalam buku-buku dengan cap stempelnya, bukan. Yang dihadapi adalah rakyat, manusia-manusia yang berfikir dan berkemauan. Yang dihadapi adalah Bangsa dan Negara, yang pada waktu itu sedang sakit dalam genggaman Imperialisme Belanda.
Rakyat Sumbawa adalah merupakan sebagian/sekelompok dari keluarga besar rakyat lndonesia. Otomatis kalau nasibnyapun sama pula dengan rakyat-rakyat diseluruh pelosok tanah air kita ini. Rakyat Sumbawa pun diperlakukan secara tidak senonoh oleh penjajah. Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan baru katanya, bahwa penduduk Sumbawa di haruskan bekerja secara.sukarela, membuat jalan-jalan raya, membangun jembatan-jembatan, gedung-gedung dan lainnya. Mereka disuruh banting tulang tanpa upah. Siapa lalai dipukul seperti kerbau, disetrap, disuruh kerja terus-menerus, selama tiga kali dua puluh empat jam tanpa hentinya.
Begitu pula harta pusaka sang rakyat, tak lepas dari ancaman bea kolonial, semuanya dikenakan pajak dan rente yang tinggi. Barang siapa yang enggan bayar pajak, harta miliknya disita, diblokir, serta sipemiliknya dijadikan budak, siapa yang rnenentang, tentu ia telah rela menjadi tuan rumah di Bui. Rakyat pada masa itu mulai gelisah, mereka merasa kalau kemerdekaan hidupnya terganggu. Pepatah berbicara ”Fajar menyingsing bukan karena jago berkokok, karena matahari terbit”. Begitu pula Undru ketika sebagai Camat, ia tak tega menagih rente kepada rakyat yang sedang demam dengan kesusahan-kesusahan hidup, sekalipun ia disuruh oleh pemerintah kerajaan. Ia selalu berpikir, ”Kalau aku patuh kepada Belanda pasti rakyat memusuhi aku, padahal aku lahir ditengah-tengah rakyat, aku anak kandung rakyat, rakyat bangsaku yang sedarah seketurunan. Aku jadi camat karena rakyat telah menganjurkan kepercayaan mutlak kepadaku, bahwa akulah yang rnenjadi pengemban segala amanatnya. Belanda? ah, mereka pengemis yang hidupnya persis bagai benalu tumbuh nempel di dahan kayu. Ia tumbuh hidup tumbuh subur karena rnenghisap zat-zat kayu, sedang dahan itu sendiri regas kering-kerontang. Belanda yang menjajah yang mengeruk semua kekayaan alam negeri kita, tapi mengapa dia yang mesti menagih, memunggut pajak kepada bumi putra ?Ini tidak seharusnya demikian ini tidak adil namanya”.
Begitulah tanggapan-tanggapan, konsepsi dan analisa,. buah pikiran Undru. Ingatannya selalu-cenderung dan terpusat kepada nasib hidup rakyat, rakyat yang sedang digulung oleh derita dan air mata.segala jerit pekik rakyat seolah-olah telah mengilhami seluruh kehidupan Undru. Kini Undru harus banyak bicara dan harus banyak bekerja segala kesibukan. Siang hari ia bekerja seperti biasa, malam hari ia konsolidasi dan bermufakat dengan para punggawa-punggawanya. Tentang bagaimana cara mempersatukan segenap potensi rakyat dan bagaimana kita mengatur taktik, siasat peperangan nanti apabila terjadi. Perang melawan kedholiman Stelsel Kapitalisme, Imperialisme Belanda dan antek-anteknya.
Kini Undru muncul ditengah-tengah rakyat, bangkit mempelopori rakyat mengajak kepada rakyat untuk berjuang demi keadilan dan kebenaran sekalipun jiwa raga yang dipertaruhkan. Keadilan dan kebenaran bisa tercipia apabila kelaliman telah dapat dihancurkan. Rakyat yang berhak menuntunnya tidak bisa bersikap manis, apalagi main mata dengan lmperialisme, selain daripada melawannya, walau dengan cara apapun
yang ditempuhnya. Jadi kesimpulannya, rakyat berjuang bukan karena Undru, tapi Undru berjuang dan bergerak karena rakyat, sama kira-kira dengan pepatah tadi.
Undru bersama punggawa-punggawa, para pemuka masyarakat dan rakyat wilayah kecamatan Taliwang rnulai menyusun/mengatur barisan siaga guna menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang datang secara tiba-tiba dari pihak lawan.
Selanjutnya Undru telah mengambil Ne-curong dari Mataiyang, seorang pemelihara/penembak ulung meriam.
Nama meriam yang dikenal pada waktu itu ada dua buah, yaitu Dedara Gempuk dan Taruna Banjar, yang sanggup memuntahkan peluru Bubit Mumpir untuk menyapu bersih musuh-musuh. Demikian pula pada tiap malam jum'at Undru berchulwats ditempat-tempat tertentu sarnbil membakar menyan. Menghalwati simayor bedilnya yang bersubang emas itu dan bermesin Pecunang namanya yang terbuat dari kuningan bercampur tembaga dan perak. Dan pada saat itu Undru sudah kurang aktif bekerja di kantor. Sikap Undru dan kawan-kawan telah diketahui lawan-lawannya, oleh Belanda bahkan Belanda makin curiga setelah segala-gala rencana undru tsb, tercium. Demi melihat gejala-gejala yang sedemikian itu Belanda mengirim beberapa orang utusan yang membawa berita. Pilih satu diantara dua, bayar pajak ataukah perang.
Setelah utusan tersebut diterima oleh Undru ia rnenjawab bahwa bagaimanapun ia serta seluruh rakyat Kecamatan Taliwang yang tunduk dibawah pengaruhnya tidak mau bayar pajak dan lain-lainnva dan mengenai perang, Undru menandaskan bahwa untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan kami akan menempuh dengan berbagai cara. Apabila tidak berhasil dengan cara damai, dengan cara perangpun boleh.
Selanjutnya Undru menegaskan kepada utusan-utusan tersebut. Bahwa memang tatkala pertama kali Belanda datang ke Indonesia segala janjinya manis dan indah. Tapi prakteknya bertolak belakang. Katanya mencari rempah-rempah sambil meluaskan jaringan-jaringan perdagangan yang bersahabat dan sebagainya. Tetapi kenyataannya disulap dengan menjajah, menindas, mengeruk kekayaan serta mengadu dornbakan Bumi Putera sendiri yang tiada berdosa.
Demikian jawaban Undru buat Belanda yang disampaikan kepada utusan-utusan tersebut. otomatis kalau jawaban-jawaban Undru itu diterima oleh Belanda dengan hati gusar dan geram. Undru dan kawan-kawannya telah merasa jika dalam waktu singkat nanti peperangan akan berkobar. Maka rakyat diberi peringatan terutama orang-orang tua yang sudah pikun, perempuan-perempuan dan anak-anak agar segera evakuasi atau menyingkir di ternpat-tempat yang aman. Begitu pula anak istri Undru telah diungsikannya dan diberi peringatan supaya dalam menghadapi macam-macam musibah hendaknya tetap tenang dan waspada.
Sahdan, setelah segenap sesuatunya mustaid maka bersiagalah Undru dengan pasukannya menanti kedatangan serdadu si mata biru itu
Sementara itu serdadu-serdadu Belanda dari Sumbawa Besar. Telah dipindahkan ke Taliwang lengkap dengan segenap peralatannya dari Taliwang mereka mulai mengatur barisan dalam selagorde pasukan berkuda (kabaleri), pasukan-pasukan luar biasa (infantri) dan pasukan-pasukan, penyelidik (Intelegiance Kamuvalse) kesemua pasukan-pasukan itu dipimpin oleh Kapten Yan Clement. Pasukan-pasukan serdadu Belanda tersebut. Bergerak berduyun-duyun menuju Sapugara melalui Brang Panemu dan Bre, ini terjadi pada tanggal 11 Radjab 1320 H (19 Juli 1906) sekira jam menunjukan pukul enam sore saat itu.
Dan serdadu-serdadu Belanda yang didrop kira-kira menurut taksiran tidak kurang dari 60 lusin yaitu720 orang.
Pasukan mata-mata Undru melaporkan bahwa Belanda telah masuk menduduki Bre (nama desa), rencana mereka nanti malam pukul 2 malam akan melakukan penyerangan ke sapugara. setelah menerima laporan demikian Undru segera memerintahkan kepada Punggawa Ireng, Punggawa Beaus, masing-masing Sangaria dan Talup, agar segera menyusun tentaranya/pasukannya masing-masing, siap siaga menempati tempat-ternpat yang strategis letaknya guna memberikan pukulan perlawanan sengit kepada setiap musuh.
Malam itu malam kamis 17 Radjab 1320 H ( 20 Juli 1906) suasana sekitar kampung Sapugara, sunyi senyap, tiada bintang yang menampakan dirinya dicakrawala, karena tertutup oleh kabut dan awan hitam menggayut diangkasa, yang hitam laksana cadar yang menutupi wajah manis gadis gurun pasir, hanya jangkerik dan bangsa serangga berlomba mengantarkan suara merdunya keruang alam ini, membuai bersenandung dimalam syahdu.
Meski malam itu sunyi sepi, namun jantung hati manusia pada berdenyut dan berdebar diamuk oleh bermacam-macam hayal, apa jadinya gerangan nanti apabila jadi bertempur, perang dan lain-lainnya.
Tooor. .. . Dooor... ..Tooor. ... .. suara pistol, sebagai sen (tanda) tiga kali berturut-turut dari pihak Belanda, yang di tembakan ke atas, pertanda bahwa perang akan dimulai.
Begitu juga Tentara Undru dan kawan-kawan dengan tembakan Dorloknya lima kali berturut-turut memecah keheningan malam sebagai tanda balasan.
Setelah kedua belah pihaknya bermain kode, mulailah mereka-mereka bertempur. Saling bidik, saling tembak, saling pekik, perang campuh, hebat seru dan menyeramkan. Gelegamya suara meriam dan senapan serta gemerciknya pedang beradu, seolah-olah sebuah adegan drama yang menegakkan bulu tengkuk. Itu terjadi pada tanggal 20 Juli 1906, yang diawali sejak pukul 4 subuh dan berakhir pada jam 12:00 siang, dengan lenyapnya kampung Sapugara. Dan disini tidak usah kita lukiskan panjang lebar tentang bagaimana gagah dan sengitnya perlawanan Undru dan kawan-kawan terhadap lawannya yang nyatanya hanya tinggal tiga lusin (36 orang) hanya sisa-sisa serdadu Belanda yang masih hidup, sedang Kapten Yan Clement, mati terbunuh dalam peperangan itu.
Tiada berkata lagi besarnya resiko Belanda yang mesti dikorbankan untuk keperluan perang, baik kerugian jiwa maupun kerugian material. Ini tidak heran berdasarkan kenyataan yang pernah di saksikan oleh rakyat pada zaman itu yakni apabila Si bedil Mayor meletus, maka Pecunang dalam sebutir sanggup menembus musuh-musuh dua setengah lusin (30 orang).
Menurut cerita bahwa peluru Pecunang itu memiliki keistimewaan yang tak pernah dimiliki peluru dan senjata lain, dan mempunyai keajaiban yang luar biasa. Apabila peluru tersebut di tembakan, kena atau tidak kepada sasarannya, maka lazimnya peluru itu kembali lagi kepada pemiliknya. Jadi sama dengan senjata yang dipergunakan oleh Hotentot suku pedalaman asli Benua Australia, yang bernama Bumerang.
Rupanya sama dengan busur panah.Dan kalau sekarang pada abad modern ini sama dengan peluru kendali yang digerakan oleh tenaga atom.
Kalau dari pihak lawan banyak yang jatuh korban, maka dari pihak Undru dan kawan-kawan pun tidak sedikit yang gugur/tewas di medan laga .memang didalam peperangan orang tidak memikirkan siapa benar dan siapa salah, siapa menang dan siapa kalah. Karena perang adalah penderitaan dan kehancuran belaka mendengar perkataan perang, terbayanglah dalam kelopak rnata kita dan terdengarlah oleh kita, sorak, sorai gemuruhnya senjata, jeritan dan tangis, tersemburnya darah, daging-daging yang koyak berkeping-keping serta tulang belulang berserakan.
Ngeri dan sungguh mengerikan. Katanya jiwa itu mahal harganya dan lain-lain. Tetapi mengapa begitu murah kalau ditembus sebutir peluru atau disambar ujung tombak. Betapa tak redanya pecaturan perang antara manusia di muka bumi ini dan betapa tak habis-habisnya ibu pertiwi kita ini dilumuri darah dan air mata, mengapa penderitaan hidup ini selalu menari-nari dimuka kita, datang dan pergi silih berganti. Perkataan damai laris diobralkan oleh pimpinan-pimpinan Bangsa di Dunia ini, laris seperti pisang goreng dijaja di pasar. Betapa bahagia kita bila mendengar kata damai itu. Namun untuk menciptakan perdamaian itu adakalanya harus ditebus dengan perang, oleh peperangan yang terkutuk.
Sejarah membuktikan apabila terjadinya perang biasanya diakhiri oleh drama yang memilukan hati, bangunan hancur berpuing, hantu kelaparan dan kemiskinan mencekam kehidupan, pengemis-pengemis dan anak-anak yatim piatu yang kehilangan ayah ibu, sebagai mahkota hidupnya bergelandangan dimana-mana, juga perempuan-perempuan yang merasa dirinya agak cantik terus lari ke dunia pelacuran, rnenjajal kehormatan tanpa tarif.
Semuanya itu karena perang, karena menderita lahir batin dan karena lapar. Dalam situasi yang demikian itu, bermacam-macam penyakit yang terjangkit, menjangkiti tubuh-tubuh manusia, TBC, cacar, kudis, busung lapar, sakit kuning, raja singa/spilis, patel dan lain-lain. Panca indera manusia sudah banyak kurang, cacat, infalit.
Belanda telah merasa jika dipihaknya banyak menderita, pengorbanan. Kerugian-kerugian yang parah, akibat perang Sapugara itu. Maka dicarilah muslihat lain untuk menundukan Undru dan kawan-kawan. Mulailah Belanda menjalankan politik adu. domba dan dikuasai ( DEVIDE ET IMPERA)nya terhadap Bumi Putera. Belanda banyak menyebarkan mata-mata sewaan alias Belanda pisak (hitam/ bangsa sendiri). Mereka disuruh propaganda dengan kalimat yang manis berbisa. "Saudara mau hidup merdeka dan mewah ? Ikut kami Belanda dari Nederland, datang ke Indonesia ini bukan bermaksud menjajah, tapi betul-betul hendak mendidik dan memajukan taraf hidup saudara-saudara ketempat yang lebih baik, agar saudara-saudara tidak bodoh dan buta huruf. Saudara-saudara jangan keliru kemerdekaan letaknya adalah pada persahabatan
dan ke exsistensi secara damai, bukan pada pertempuran. Dan makin terus saudara melakukan serangan kepada Belanda, berarti kemerdekaan saudara akan musnah dan malah rantai belenggu yang rnenjerat saudara-saudara.
Jangan saudara-saudara turut Undru, sebab Undru orang bodoh, peradabannya rnasih rendah. Ikuti Undru berarti penderitaan hidup datang bertubi-tubi, tapi bersatu dengan Belanda berarti sorga, kesejahteraan dan kedaulatan saudara-saudara akan terjamin penuh. "
Begitu manis dan lihainya propaganda Belanda yang diludahkan kepada rakyat Kecamatan Taliwang khususnya. Mungkin buat orang yang lemah iman dan kurang memiliki dasar mental yang sehat, gampang saja terpesona, terpikat, bahkan bertekuk lutut dihadapan Imperialis, si mata biru Belanda itu. Orang-orang semacam itu adalah jelas penjilat, pencari muka dan pembunuh, algojo bangsa sendiri. Namun bagi orang-orang yang tebal iman, luhur fiil perangainya dan berjiwa patriot-complit, omongan-omongan si rambut pirang itu, adalah laksana pedang yang ditancapkan kedalam dada sendiri.
Timbullah perasaan benci yang tiada putus-putusnya, dan dendam kesumat yang tak terleraikan lagi kepada Belanda.
Undru dan rekan-rekannya bersemboyan : "DARI PADA MUNDUR MENYERAH, LEBIH BAIK MAJU BERLAWAN, MESKIPUN HARUS MATI BERTINDIH BANGKAI"
Demikianlah tekad,vang tercetus dalam hati nurani mereka, tekad yang tulus ikhlas. Undru dan kawan-kawannya pantang menyerah mentah-mentah kepada lawan, mereka terus bergerilya. Berkali-kali pasukannya memukul mundur musuh, tapi berkali-kali juga mereka terpukul, melainkan rakyat banyak yang jatuh korban. Selama Undru dan kawan-kawannya bergerilya, selama itu pula Belanda mempergunakan kesempatan-kesempatannya berpropaganda, sehingga banyak rakyat yang menyerah tanpa syarat, tak lagi bersedia perang.
Selama Belanda terus melakukan pengejaran-pengejaran yang di barengi dengan propaganda-propaganda licik untuk mempengaruhi dan memancing publik (masyarakat), tapi Undru dan kawan-kawan kian sengit memberikan balasan perlawanan sambil bergerilya, merayap terus menaiki tebing-tebing curam, menuruni lernbah-lembah dalam, bersembunyi disela-sela batu terjal antara Gunung Keminvak Bakatmonte, terus merayap mendaki bukit-bukit Rarak dan Rungis.
Moral sahabat Sahabat Undru makin tinggi serta semangat mereka untuk bertempur kian mendidih kian bergelora, setelah mengetahui banyak pihak musuh yang rontok.
Menurut cerita rakyat, tatkala berkobarnya perang di Rarak dan Rungis ratusan lusin serdadu-serdadu belanda yang amblas dihujani batu-batuan besar oleh tentara Undru dan kawan-kawannya, dari atas celah-celah
bukit.
Makin ggih Undru dan kawan-kawan melancarkan perlawanansambil membobolkan benteng/loji-loji pertahanan musuh, makin tambah kejam Belanda melakukan penindasan-penindasan dan siksaan-siksaan terhadap rakyat, suatu perbuatan yang di luar batasan kemanusian. Tidak sedikit gadis-gadis yang rusak kehormatannya karena diperkosa. Sungguh tak tertahankan oleh rakyat tentang keganasan simata biru itu. Bukan masalah yang aneh apabila pasukan-pasukan tentara Undru dan kawan-kawan kian hari kian menipis, kian surut bahkan kian berkurang jumlahnya. Mereka terbentur oleh makanan, obat-obatan serta persenjataan. Bagaimana tidak demikian, karena banyak lumbung-lumbung padi dibakar. Serta alat senjata yang dipergunakan oleh lawan jauh lebih besar dan lebih modern pada waktu itu.
Tegasnya Undru dan kawan-kawan telah merasa, iika dan pengikutnya sudah terjepit. Mereka mengadakan musyawarah dan mufakat dalam memecahkan problern-problem yang di hadapinya yang kemudian melahirkan suatu keputusan, bahwa Undru dan kawan-kawan sebagainya menyerah tanpa syarat kepada Belanda. Ini dikandung maksud agar supaya rakyat tidak jatuh korban lagi, mengingat dan menimbang pula bahwa pengaruh Undru dan kawan-kawan dikalangan mata rakyat sudah kabur, yang dikarenakan oleh propaganda- propaganda busuk Belanda. Selama perang keluarga Undru dan kawan-kawan, anak-anak, istrinya hidup tercecer tidak menentu lagi, dan sebagainya.
Rakyat mengisahkan pada bulan November 1906, Undru dan kawan-kawannya turun dari bukit rimba Rarak menuju ke Taliwang dengan diusung oleh rakyat, menyerahkan diri kepada Belanda. Ketika Undru menyerah badannya kurus, pakaiannya kumal-kumal, lagi pula sering batuk-batuk saja karena terlalu kuat rninum candu. Segala tekadnya yang tulus iklas yang pernah di ikrarkannya tempo hari itu, disaat ia sedang dijajahnya, kini telah digagalkan dan di koyakkan oleh suasana yang krisis. Ia kembali ke Taliwang bukan seperti di masa lampau sebelum perang, tetapi kini ia pulang menyerahkan jirva raganya pada penjajah setelah sekian kali bertempur, demi keadilan, kebenaran dan kemerdekaan serta demi martabat yang luhur. Selanjutnya Belanda rnenjatuhkan vonis
kepadanya bahwa Undru dan kawan-kawan akan diasingkan keluar daerah dalam waktu singkat. Akhir November 1906. Dikala surya timbul di Timur Raya. Dimana angin pagi yang sejuk membelai bunga-bunga dan dedaunan serta embun-embun yang bertengger berkilauan di ujung-ujung rumput, sebentar lagi akan lenyap dipanas syamsu. Wajah kota Taliwang pada zaman itu bagai bermuram durja. Bukit-bukit belantara yang melingkari sekitar kota serta gunung Samoan yang tegak abadi sepanjang jaman, pada ketika itu diam membisu tak sudi bercanda dengan ombak, dengan angin atau burung-burung yang hinggap diranting kayu. Mereka tinggal bermuram duria, berawan gundah gulana semua. Orang berjubel berduyun-duyun menuju alun-alun persanggarahan ingin melihat pendekarnya akan di buang ke negeri orang, serta ingin mendengar kesan-kesan dan salam perpisahannya. Dengan mengenakan pakaian adat Sumbawa Undru keluar dari persanggarahaan langsung menuju naik ke podium, disambut oleh tepuk tangan riuh rendah, gegap gempita massa : Setelah situasi tenang, barulah dia mengucapkan pidato singkatnya dalam bahasa daerah, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut :
"Kawan-kawan, sahabat-sahabat seperjuangan yang saya hormati. Selama kita berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita ini, tak pernah
sctya ragu-ragu bahwa tujuan sejati itu pasti menang. Untuk cita-cita itu, saya dan teman-temanku telah mengorbankan segala hidup ini. Apa yang kita inginkan bagi tanah air ialah hak untuk hidup mulia, untuk martabat yang utuh, untuk kemerdekaan tanpa batasan. Tetapi kolonialisme Belanda dengan sekutunya, tidak menghendakinya. Dan politik mereka dengan sadar atau tidak, secara langsung atau tidak, mendapat bantuan dari pejabat-pejabat tinggi itu yang kita serahi kepercayaan untuk membantu kita. Mereka menyogok beberapa orang dari teman-teman setanah air kita memutar balikan keadaan dan merongrong kemerdekaan kita. Apalagi yang saya dapat katakan tentang mereka? Mati, hidup bebas atau meringkuk dalam penjara, atas perintah kaum Kolonialais.
Bagi pribadi saya sendiri tidaklah menjdi soal. Soalnya adalah Taliwang, Sumbawa yang rakyatnya melarat yang kemerdekaannya telah diroboh menjadi kurungan dan dari luar kurungan itu rnereka menonton kita dengan perasan yang begitu gembira. Tapi bagi saya sendiri tetap tak akan gentar, sebab saya yakin Tanah air yang begitu banyak menderita pasti akan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya."
Demikianlah kira-kira bunyi pidato Undru pada zaman itu. Tatkala ia mengucapkan pidatonya banyak hadirin yang menjatuhkan air mata. Kini Undru telah didampingi oleh istrinva yang setia, yakni SITI dan CEMPAU, serta anak-anaknya yang masih kecil, menunggang atau mengendarai dokar menuju Labuan Balat, dengan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda sambil diiringi oleh para hadirin.
Disela sekian banyak pengiring, KETUB BAE' (Saad) dari Sapugara dan BENGO, H. ABDULLAH dari Bre dan AHO, SEH HASAN dari Ponjok, ikut serta mengantarnya.
Kapal telah siap menanti di Pelabuhan Balat. Istri-istrinya bersumpah bahwa mereka tetap setia, patuh dan taat kepada suaminya, walau di bawa kemanapun juga, mereka tetap sehidup dan semati.
Kala itu matahari telah tinggi, tepat ada diatas ubun-ubun kepala. Setelah selesai pamitan dan bersalam-salaman dengan semua hadirin, ia serta anak istrinya yang setia masuk terus keruang kapal berdiri diatas deks. Serunai berkali-kali di bunyikan, jangkar telah diangkut diselingi oleh suara mesin yang gemuruh, kapal rnulai bergerak pelan, bertolak meninggalkan pelabuhan Balat yang landai itu. Para pengantar mulai melambai-lambaikan tangannya, dengan sapu tangan, selendang, dan lain-lainnya,
mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah. Lambaian tangan mereka laksana daun-daun nyiur ditiup angin, dan sebaliknya Undru bersama keluarganya membalasnya. Suatu lambaian yang mengandung seribu arti.
Setelah kapal menghilang dibalik tirai lautan, para pengantar kembali pulang ketempatnya masing-masing. Disaat itulah baru mereka rasakan bagai mana sedihnya berpisah dengan pendekar seperjuangannya yang pernah menggentarkan musuh dan yang tidak pernah absen dalam memberikan andil bagi tanah Air dan Bangsanya.Sebaliknya Undru sekeluarga baru merasa kesedihan setelah berpisah dengan kawan, sahabat, kaum kerabat seperjuangannya. Matanya berkaca-kaca digenangi air kepedihan, pedih iika mengenangkan masa-masa perjuangannya yang telah lalu.
Kapal laju- terus diiramakan ombak. Undru masih tertegun, matanya keluar melalui jendela bundar melihat daratan pulau Sumbawa tempat tumpah darahnya yang ia cintai Air laut yang gemerlapan disinari surya mengingatkan ia pada istri-istrinya, yang tak mau turut serta seperti Lala Ringgit dan Lala Kemal. Dikabulkannya seraya berkata :
”Dirgahayulah rekan-rekanku yang senasib sepenanggungan ketenangan dan kebenaran ada ditanganmu, pasti. Kedholiman kolonial niscaya hambruk pada suatu saat"
Demikian Undru sekeluarga, hidup terlunta-lunta dalam pembuangan yang bertahun-tahun diayun-ayunkan oleh gelombang jaman, dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan dalih akan dimerdekakan, padahal prakteknya dibelenggu dalam bui yang indah.Dan akhirnya pendekar sapugara Taliwang itu menghabiskan hayatnya dikota udang Cirebon Jawa Barat, dengan meninggalkan beberapa orang putra-putri yang masih hidup, kembali pulang berkumpul sanak keluarganya di Sapugara Taliwang. Mereka semuanya kini telah disenja usia. Diperkirakan meninggalnya Undru itu pada tahun 1926 Masehi.

Sejarah Kabupaten Sumbawa Barat

Sejarah Kabupaten Sumbawa Barat

Upaya mengembangkan daerah otonom baru tidak lepas dari ikhtiar yang berlandaskan pada perjuangan mensejahterakan masyarakat. Terdapat kecenderungan akselerasi pembangunan berpusat di sekitar pusat pemerintahan, yaitu dikonsentrasikannya kegiatan pembangunan, baik fisik, maupun non fisik pada wilayah ibu kota, maupun wilayah-wilayah kecamatan lainnya. Kesenjangan ini oleh masyarakat cukup dipahami, oleh karena disadari bahwa hal ini disebabkan oleh rentang kendali pemerintahan yang luas.

Atas dasar itulah dan seiring dengan arus gelombang reformasi yang melanda republik ini, serta diperkuat oleh telah diberlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, telah terbuka jalan bagi setiap kelompok masyarakat untuk mengekspresikan diri secara bebas dan terbuka. Salah satu bentuk ekspresi diri tersebut adalah pernyataan kehendak untuk membentuk daerah otonom baru dari berbagai kalangan masyarakat yang sebelumnya telah menyatu dalam satu wilayah kekuasaan daerah otonom tertentu. Di antara segmen masyarakat yang mengekspresikan dalam wujud yang demikian itu adalah masyarakat di bagian barat Kabupaten Sumbawa (masyarakat kecamatan-kecamatan Seteluk, Brang Rea, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang).
Ide Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat berangkat dari kenyataan bahwa rentang kendali antara pusat kabupaten dengan masyarakat Sumbawa Barat teramat jauh, sehingga mengakibatkan lambannya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, lambannya pemerataan pembangunan, lambannya upaya peningkatan SDM, dan lain sebagainya. Untuk itu, para tokoh masyarakat di Sumbawa Barat segera mencetuskan ide Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Ide itu kemudian disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat di kecamatan-kecamatan Sekongkang, Jereweh, Taliwang, Brang Rea, Seteluk, Alas Barat, Alas, dan Utan Rhee dalam suatu rapat yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari 8 (delapan) kecamatan tersebut pada tanggal 10 Maret 2000. pada pertemuan itulah dideklarasikan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, dan sekaligus dibentuk Komite Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat (KPKSB) yang kepengurusannya mengakomodir perwakilan delapan kecamatan.
Deklarasi Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat 10 Maret 2000 tersebut merupakan ekspresi dari kemauan politik masyarakat di delapan kecamatan yang diwakili oleh beberapa orang tokoh-tokohnya. Aspirasi tersebut rupanya mendapat respon positif dari Bupati dan DPRD Sumbawa dengan keluarnya Rekomendasi Bupati No. 135/060/PEM/2000 dan Rekomendasi DPRD No. 690/17/2001. Kedua lembaga tersebut dalam rekomendasinya memberikan petunjuk kepada KPKSB untuk melakukan sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat di delapan kecamatan.
Pembentukan KPKSB
Peserta deklarasi tersebut kemudian menunjuk beberapa orang menjadi formatur untuk membentuk tim kerja yang bertugas melakukan berbagai hal yang diperlukan bagi terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat. Tim kerja itu bernama Komite Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat (KPKSB) yang diketuai oleh Ustadz Drs. M. Nur Yasin, dan beranggotakan puluhan tokoh dari berbagai komponen masyarakat di delapan kecamatan.
Berdasarkan hasil sosialisasi tersebut, KPKSB melakukan evaluasi dan konsolidasi internal pada tanggal 23 April 2002 yang menghasilkan refreshing kepengurusan KPKSB dan melakukan pengkajian ulang terhadap batas wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Ternyata soliditas masyarakat di 5 (lima) kecamatan berhasil mencapai kesepakatan bersama dengan menetapkan batas wilayah meliputi Kecamatan-Kecamatan Seteluk, Brang Rea, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang, serta menetapkan pula Taliwang sebagai ibukota kabupatennya dengan penyebaran kantor dinas/instansi tingkat kabupaten di  4 (empat) kecamatan lainnya.
Dengan demikian, Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat ini merupakan gagasan murni dari seluruh komponen masyarakat setempat, termasuk juga di dalamnya kemauan politik pemerintah Kabupaten Sumbawa (eksekutif dan legislatif) agar diberikan kesempatan dan kepercayaan penuh untuk lebih dapat mengatur nasibnya sendiri dalam bentuk kabupaten baru yang lepas dari kabupaten induk yang semata-mata hanya bertujuan untuk mempercepat pengembangan pembangunan menuju masyarakat yang bermartabat dan sejahtera merata di seluruh wilayah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sumber : Situs Pemkab SB )